“Happier Than Ever” Album Review: Sisi Dewasa Billie Eilish yang Lebih Rentan
Review by: Daffa Adra Ghifari — Music Director
Mengejutkan dunia dengan cuplikan klip rambutnya yang seketika menjadi pirang, Billie Eilish memikat perhatian netizen dunia pada Maret 2021 silam. Sebenarnya, viralnya rambut pirang tersebut hanyalah sebuah ceri di atas tumpukan prestasi yang diraih oleh penyanyi berusia 19 tahun ini. Berkat album When We All Fall Asleep… yang berhasil memuncaki 22 tangga album di seluruh dunia penyanyi asal California ini menjadi salah satu dari tiga musisi sepanjang sejarah yang berhasil menyabet keseluruhan empat kategori paling prestigius di ajang Grammy Awards 2020. Seolah dibanjiri sukses komersil maupun pujian dari kritikus, tidak dapat dipungkiri bahwa karya sophomore dari Eilish memiliki tingkat antisipasi yang menembus langit. Namun, “The bigger the star, the bigger the target,” — perjalanan menuju perilisan album Happier Than Ever tidak sepenuhnya berjalan mulus. Meskipun demikian, diluar dari persona Eilish yang berubah dari gadis unik berestetika gelap menjadi wanita muda berambut pirang yang lebih dewasa, hal terpenting dari perilisan album adalah musiknya itu sendiri. Apakah Eilish berhasil memberikan musik yang sesuai dengan ekspektasi jutaan pendengarnya?
Pada 30 Juli 2021 silam, album kedua Billie Eilish bertajuk Happier Than Ever resmi dirilis di berbagai platform musik digital maupun toko album fisik. Karya sophomore Eilish ini memiliki cover berlatar warna beige a la retro 50-an dengan sang penyanyi memiliki tatapan penuh harapan, menitikan air mata, sekaligus menunjukkan bahu kanannya dari baju yang kebesaran. Apakah cover tersebut menceritakan isi album ini? Jawabannya adalah iya. Album bergenre alternative yang dirakit Eilish hanya dengan dirinya dan bantuan sang kakak Finneas, memiliki karakteristik yang lebih translucent dibanding karya-karya sebelumnya. Melalui 16 lagu yang ada di album Happier Than Ever, pelantun “bad guy” ini berfantasi sekaligus mencurahkan isi hatinya yang kini bukan hanya seorang remaja tetapi beranjak dewasa.
Menjadi lebih dewasa, album Happier Than Ever adalah media Eilish untuk menyampaikan topik-topik yang lebih sensitif. Dibuka dengan “Getting Older”, Eilish mengungkit insekuritas, perasaan, dan harapan untuk dirinya yang kini menjadi selebriti papan atas.
“But next week, I hope I’m somewhere laughing
For anybody asking, I promise I’ll be fine
I’ve had some trauma, did things I didn’t wanna
Was too afraid to tell ya, but now, I think it’s time,”— Getting Older
menunjukkan kedewasaan Eilish yang optimis dan lebih berani untuk menunjukkan sisi rentannya. Melalui lagu “Oxytocin”, Eilish berhasil memperlihatkan sisi sensualnya diselimuti dengan instrumental upbeat yang menarik perhatian. Seolah “Oxytocin” membawa pendengar mengingat nuansa klub ataupun festival musik.
Tidak berhenti di situ, Billie Eilish mengkritisi publik melalui lagu spoken-word “Not My Responsibility”. Penyanyi yang sebelumnya lebih terkenal dengan pakaiannya yang baggy ini, tampak lebih siap untuk mengkritisi siapapun yang melakukan objektifikasi terhadap perempuan. Sebuah tindakan yang patut diacungi jempol untuk Eilish yang masih sangat muda. Highlight lain dari sikapnya yang lebih dewasa ditunjukkan melalui “Your Power”. Lagu folk berdurasi empat menit yang dinyanyikan dengan suara soothing Eilish ini mengkisahkan sebuah hubungan yang toxic melalui tingkah salah satu pasangan yang menyalahgunakan dayanya.
“…Like it was my fault, you were the devil lost your appeal,” — Your Power
seolah menceritakan perilaku gaslighting yang dialami sang narrator.
Selain pengalaman pribadi yang to the point, penyanyi yang awalnya viral karena “Ocean Eyes” ini juga menunjukkan sisi fantasinya yang lebih dreamy. Dapat dilihat melalui “Billie Bossa Nova” yang menceritakan sang narator sedang kasmaran dengan seseorang, disampaikan dengan nuansa bossa nova jazz nan romantis. Rasanya tidak lengkap jika sebuah album Billie Eilish tidak dilengkapi dengan sebuah ballad yang romantis. Lagu itu adalah “Halley’s Comet” yang menafsirkan jatuh cinta dengan fenomena komet langka tersebut.
Seperti menjalani hidup, beranjak dewasa tidak sepenuhnya berjalan mulus, analog dengan album Happier Than Ever. Walaupun jika disusun sedemikian rupa membuat karya sophomore Eilish ini menjadi kohesif, beberapa lagu terkesan kurang menarik. Khususnya pada kedua singel “Lost Cause” dan “Therefore I Am”. Sangat disayangkan bahwa Eilish dan tim memilih dua dari lima pre-release single yang seolah dibuat dengan formula pop agar lebih komersil sebagai cicipan awal album ini. Padahal, Happier Than Ever memiliki lebih banyak lagu dan cerita yang lebih menarik. Adapun “Overheated” dan “Everybody Dies” yang cukup monoton secara sonik maupun lirik.
Beranjak dari musik yang ada, mungkin secara sadar atau tidak, terdapat beberapa kontroversi yang sepintas cukup menurunkan hype dari Billie Eilish. Berbagai cancellation secara virtual sempat terjadi akibat berbagai hal termasuk kehidupan percintaan yang personal sekaligus seksualitas yang diambigukan. Mungkin dapat terlihat sebagai hiperbola, namun dari segi musik nampaknya “Lost Cause” menjadi pemicu yang valid. Awalnya Eilish yang memiliki brand gadis unik, relatif terkesan introvert, dengan penampilan yang cukup menutup fisiknya seolah berubah dengan sekejap menjadi another blonde girl yang berpesta dengan teman-temannya. Dengan style yang berubah 180 derajat dibandingkan era When We All Fall Asleep… jelas membuat heran penggemar yang lebih tertarik dengan imej eksentriknya.
Tetapi (seolah untuk menebus dosa), satu yang patut disorot secara penuh adalah title track dari Happier Than Ever. Berdurasi hampir lima menit,“Happier Than Ever” bercerita secara perlahan dan santai di awal namun seketika berubah menjadi nuansa rock yang kental pada paruh kedua lagu ini.
“…Probably one of the most therapeutic song I’ve ever written or recorded it like ever, ever, ever. ’Cause I just screamed my lungs out and talked afterwards, which was very satisfying to me somehow. I had wanted to get those screams for a very long time and it was very nice to.” — Billie on Happier Than Ever (2021) via Spotify.
Pada title track ini, Eilish mengkisahkan dirinya yang lebih bahagia setelah jauh dari pasangannya. Melalui bait dengan gaya yang nyinyir di awal namun blak-blakan di paruh kedua, ia sukses mengeluarkan isi hatinya dengan spektakular sekaligus masih menunjukkan integritas artistiknya.
Berbicara soal integritas artistik, cukup banyak musisi yang mengalami sophomore slump khususnya bagi para pemenang Best New Artist di ajang Grammy Awards. Akibat tekanan yang tinggi, mereka para pemenang sebelumnya mungkin terasa nyaman akibat sebuah trofi emas yang didamba-dambakan dan menjadi tidak kompetitif. Bahkan nominasi lainnya yang kalah malah lebih tenar dan dipandang di dunia musik. Hal ini sudah berkali-kali terbukti — Fiona Apple kalah kepada Paula Cole, SZA yang dikalahkan oleh Alessia Cara, ataupun Kendrick Lamar yang dikalahkan dengan Macklemore & Ryan Lewis. Lantas, bagaimana dengan Billie Eilish? Meski jalan yang dilalui tidak mulus, tetapi dengan perilisan Happier Than Ever seolah Eilish membuktikan bahwa ia akan kebal terhadap “Best New Artist Curse” tersebut. Secara komersil dan dalam waktu singkat saja hal ini telah sedikit terbukti dengan Happier Than Ever yang sukses memuncaki 22 tangga lagu termasuk Amerika Serikat.
Kembali ke pertanyaan di awal: Apakah Eilish berhasil memberikan musik yang sesuai dengan ekspektasi jutaan pendengar musiknya? Jika anda hanya pendengar biasa yang fokus pada singel-singel saja dan lebih peduli terhadap persona musisi dibanding musiknya, mungkin tidak. Tetapi sebagai sebuah body of work yang komplit, Happier Than Ever berhasil membuktikan bahwa dibalik semua pencapaiannya, Billie Eilish memanglah musisi dengan talenta super yang masih belia.