MENGINTIP SALAH SATU KEKAYAAN TRADISI LISAN ORANG LAMPUNG: KIAS
Written by: Aulia Adinda Putri — News Director
Tulisan dalam artikel ini memuat informasi mengenai salah satu kekayaan tradisi lisan yang terdapat dalam buku berjudul “Kias Tradisi Lisan Orang Lampung”. Buku ini merupakan hasil disertasi dengan judul “Tradisi Lisan Kias dalam Masyarakat Lampung Peminggir Kalianda: Bentuk, Fungsi, dan Konteks” dari salah satu pengajar Program Studi Indonesia, Dr. Syahrial, S.S., M.Hum.
Buku berisi 228 halaman ini memuat penjelasan mendalam mengenai Lampung dan masyarakatnya serta salah satu tradisi lisannya yaitu Kias yang meliputi pembahasan mengenai bentuk kesenian, kisah dari 2 orang tukang Kias, gaya pertunjukan, jenis-jenis penonton, dan fungsi dari Kias itu sendiri.
Melalui penuturan penulis, dirinya membutuhkan kurang lebih tiga tahun dalam penelitiannya di desa-desa di Kecamatan Kalianda dan sekitarnya. Dalam pengamatannya tersebut, penulis mengungkapkan telah melihat langsung bagaimana suatu adat mendapatkan tempat di dalam masyarakat saat menyaksikan pertunjukan Kias dalam berbagai kesempatan.
Sedikit Banyak Tentang Kias
Tradisi Kias masuk dalam bentuk kesenian tradisi lisan. Mungkin sebagian besar dari Gen Muda masih banyak yang belum tahu mengenai pengertian dari tradisi lisan itu sendiri. Tradisi lisan merupakan suatu tradisi yang dilangsungkan turun-temurun secara tradisional yang dalam penyampaiannya dalam bentuk lisan atau dari mulut ke mulut seperti dongeng dan nyanyian yang tidak diketahui sumber aslinya.
Kias merupakan kesenian berbentuk lantunan syair yang biasanya berisi curahan hati dari si pelantun, tetapi tidak hanya itu, Kias juga bisa berisikan syair dengan tema-tema lainnya. Kesenian ini biasanya ditampilkan dalam acara perayaan yang tengah dilaksanakan masyarakat seperti pernikahan dan khitanan. Dalam acara pernikahan, biasanya Kias ditampilkan pada malam sebelum atau sesudah akad nikah.
Kias bukanlah bentuk kesenian yang populer di Lampung sana. Hal itu dirasakan oleh penulis ketika beberapa kali dalam berbagai kesempatannya, penulis mencoba menanyakan langsung perihal kesenian ini dengan orang-orang Lampung yang ditemuinya. Oleh karena itu, melalui buku ini disampaikan bahwa kesenian Kias memanglah ada, tetapi hanya dikenal di dalam masyarakat peminggir di wilayah Kecamatan Kalianda. Masyarakat peminggir adalah kelompok individu yang menempati pesisir pulau Lampung.
Kias merupakan kesatuan dari Wawacan, Sakiman, Pepacokh, dan Hehiwang. Melalui fakta tersebut, diketahui bahwa kesenian ini merupakan bentuk kreasi atau hasil inovasi dari masyarakat Peminggir Kalianda atas berbagai jenis tradisi lisan yang hidup di tengah-tengah mereka.
Tukang Kias
Buku ini turut menghadirkan pengalaman dari dua orang tukang Kias yang penulis kenal. Mereka adalah Haji Hasan Mataraja dan Imam Rojali. Dikatakan bahwa dalam mengembangkan kemampuannya, masing-masing dari mereka belajar dari lingkungan dan juga belajar dari para senior mereka. Seperti yang dilakukan oleh Haji Hasan Mataraja yang mempelajari Kias dengan memperhatikan seorang tukang kias bernama ‘Ain Abdulrahman hingga akhirnya Ia memiliki kepercayaan diri untuk tampil bahkan menciptakan syair-syairnya sendiri.
Melalui kesempatan tersebut, kedua tukang Kias tersebut mengungkapkan bahwa saat ini kesenian Kias sangat minim sekali apresiasi dari berbagai pihak. Terutama apresiasi dari pemerintah terhadap mereka sebagai penerus tradisi lisan ini. Miris tentunya mendengar pernyataan tersebut dari tokoh-tokoh yang telah dengan baik melestarikan kekayaan salah satu tradisi yang kita miliki. Untuk itu, sudah seharusnya kita, Gen Muda, dapat lebih memberikan apresiasi dengan mengenal kesenian Kias dan tradisi lainnya, serta mendukung para senimannya.
Sadar tidak sadar, membaca artikel berikut ini merupakan langkah awal dari Gen Muda dalam menunjukan apresiasi dan dukungan terhadap kesenian Kias sekaligus sebagai bagian dari upaya Gen Muda untuk mempertahankan dan memperkaya warisan budaya Indonesia, loh!