Menjelajahi Kancah Musik Independen di Korea Selatan

RTC UI FM
7 min readApr 27, 2021

--

Musisi-musisi Indie Korea Selatan: Broccoli, you too; Jaurim; 10cm; Jannabi; Hyukoh

Written by: Fiqrulloh Fajrin — Music Director

Dalam dua dekade terakhir, dunia telah melihat bagaimana penetrasi dari industri musik Korea Selatan (selanjutnya dari sini akan ditulis Korea) ke berbagai negara begitu masif dikonsumsi di seluruh platform streaming dan sosial media. Berdasarkan laporan yang dihimpun oleh International Federation of the Phonographic Industry (IFPI), pada 2020 Korea berada di posisi ke-6 dalam tabel peringkat pasar musik rekaman terbesar di dunia. Hal ini merupakan salah satu pengaruh keberhasilan dari fenomena budaya yang dikenal sebagai Hallyu (한류), sebuah istilah yang mengacu pada popularitas global ekonomi budaya Korea dalam mengekspor budaya pop ke berbagai negara.

Salah satu dari sekian wacana industri musik di Korea adalah perkembangan dalam kancah musik independen mereka yang cukup dinamis selama dua dekade terakhir. Dilihat secara historis, K-pop rupanya hanya setengah cerita dari bagaimana ekosistem musik Korea bisa seperti sekarang. Artikel ini akan membahas bagaimana kancah musik independen Korea lahir dari suatu hal yang dianggap subversif oleh pemerintah, reaksi mereka terhadap wacana dan dominasi K-pop, hingga jatuh bangunnya sejak dimulai sekitar akhir 1980-an.

Merunut Kelahiran Kancah Musik Independen Modern Korea

Gelombang pertama kancah musik independen modern Korea dimulai ketika runtuhnya kediktatoran militer di Korea pada 1987. Dalam proses demokratisasi yang berlangsung, pertumbuhan ekonomi Korea mulai pesat dan informasi mengalir jauh lebih bebas. Kebetulan proses tersebut juga bersamaan dengan gerakan musik underground yang berkembang di beberapa negara Asia seperti Jepang, Singapura, dan Indonesia.

Ekosistem musik Korea dibangun kembali. Generasi muda Korea dihadapkan dengan genre-genre musik baru yang berasal dari luar negeri dan beberapa dari mereka mengembangkan komunitas punk-rock di daerah Hongdae, Seoul. Di bawah pengaruh Universitas Hongik yang terkenal sebagai perguruan tinggi seni yang cukup bergengsi, Hongdae akhirnya menjadi ikon dan arena tempat pertunjukkan musik underground utama di Korea pada awal 1900-an.

Klub musik di kawasan Hongdae terpenting adalah Drug Club yang menjadi rumah bagi musik rock dan punk Korea. Selain itu, Drug Club juga telah banyak membantu mempromosikan dan merekam musik independen Seoul selama akhir 1990-an. Layaknya Pid Pub Pondok Indah yang melahirkan Antiseptic dan The Stupid sebagai generasi pertama grup musik punk Indonesia, Drug Club melahirkan dua grup punk legendaris Korea: Crying Nut dan No Brain.

Crying Nut — Isn’t That Good? (좋지 아니한가)

Bersama, mereka adalah bagian dari generasi pertama musik independen modern Korea dan menjadi pelopor utama gerakan punk bawah tanah yang dikenal dengan Joseon punk (조선 펑크). Ada pula The Geeks yang mempopulerkan punk hardcore dan gerakan straight edge, dengan semua anggotanya yang pantang alkohol. Musisi-musisi dengan aliran thrash metal dan death metal seperti Seed, Crash, dan Sad Legend turut unjuk gigi di klub-klub kawasan Hongdae. Noizegarden dengan aliran metal alternatifnya dibentuk melalui komunitas heavy metal.

Pada dekade yang sama, para generasi muda Korea juga menggunakan Sistem Papan Buletin (Bulletin Board System [BBS]) yang kebetulan saat itu masih berada pada masa gemilangnya dengan fitur seperti pertukaran pesan menggunakan jaringan komputer. Sebuah komunitas virtual pun dibentuk. Di sana mereka dapat lebih mudah bertemu dan berbagi informasi mengenai musik. Dari berbagai aktivitas virtual tersebut pula akhirnya muncul komunitas musik independen, termasuk grup musik Deli Spice yang turut terbentuk dari aktivitas ini.

Ekosistem arus musik independen Korea semakin berkembang. Dalam waktu yang relatif cepat, para generasi muda Korea terus mengembangkan komunitas baru di daerah Hongdae dengan semangat independennya untuk membentuk grup musik. Sister’s Barbershop dan Jaurim adalah beberapa di antaranya. Musisi-musisi ini segera menemukan tempat mereka di klub-klub Hongdae, menciptakan sinergi yang terus membangun kancah musik independen Korea di pertengahan 1990-an.

Jaurim — Bird

Jatuh Bangun Musik Independen Korea

Perkembangan kancah musik independen mengalami disrupsi sementara pada tahun 1997, di mana beberapa negara Asia dihantam oleh krisis keuangan, termasuk Korea. Kurangnya cadangan devisa negara dan banyaknya hutang luar negeri yang dilakukan oleh para chaebol (재벌) yang jatuh tempo merupakan beberapa penyebab utama mengapa krisis ekonomi di Korea bisa terjadi. Salah satu konsekuensi dari krisis ini adalah industri musik Korea yang menyusul ambruk.

Pada saat itu, menurunnya daya beli generasi muda akibat krisis ekonomi sangatlah berkontribusi pada penurunan pesat industri musik. Maraknya pembajakan musik merupakan bencana lain bagi para pekerja kreatif di industri musik arus independen. Akibatnya, pasar rekaman berorientasi album mengalami stagnasi. Dalam suasana pasar yang seperti itu, musisi-musisi dengan label independen kecil posisinya semakin sempit dan kehilangan popularitasnya.

Sebagai catatan, musik independen Korea pada awal 2000-an masih berada di atas permukaan. Misalnya saja musik dari 3rd Line Butterfly yang digunakan untuk salah satu drama televisi, Ruler of Your Own World (2002), lalu Crying Nut menyumbangkan lagu resmi Tim Korea untuk Piala Dunia FIFA 2002. Selain itu pula, Crying Nut berhasil masuk beberapa nominasi dan banyak mengantongi penghargaan di beberapa ajang penghargaan musik Korea. SXSW bahkan menyatakan bahwa Crying Nut merupakan grup musik independen Korea terlaris sepanjang masa.

Pada tahun 2003, Korea menjadi pasar musik pertama di dunia di mana penjualan musik digital melampaui penjualan format fisik. Pasar musik digital pun telah relatif stabil daripada sebelumnya. Pada tahun berikutnya, di Gwanak, Seoul, sebuah label independen dengan nama Boongaboonga (BGBG) Records terbentuk sebagai hasil dari budaya musik Gwanak. BGBG mulai beroperasi dengan mendirikan studio rekaman kecil-kecilan di dekat kampus Seoul National University (SNU). Selain label musik, ada pula Club FF yang baru terbentuk pada tahun yang sama dengan basisnya yang berada di Hongdae. Klub musik ini menjadi tempat strategis untuk berkembangnya kancah musik independen Korea hingga sekarang.

Sayangnya, persepsi publik Korea terhadap musisi independen sempat berubah negatif akibat insiden memalukan di program televisi MBC, Live Music Camp pada tahun 2005. Menjelang akhir pertunjukan, salah satu dari personel Couch dan Spiky Brats melompat-lompat telanjang bulat di atas panggung. Insiden tersebut disiarkan langsung ke masyarakat Korea, termasuk pula penonton yang hadir di tempat tersebut. Won Jong Hee, sang vokalis utama dari grup musik RUX, ditangkap karena mengundang keduanya untuk ikut tampil di acara tersebut. Sejak insiden tersebut, MBC melarang penampilan dari musisi independen dari tahun 2005–2009 dan diikuti oleh stasiun TV besar lainnya yang juga memperketat aturan mereka terhadap musisi independen.

Sebagai negara yang begitu tenggelam dalam kapitalisme, budaya Hongdae dan para senimannya juga menghadapi isu gentrifikasi yang kemudian turut berkontribusi pada berakhirnya gelombang pertama musik independen Korea. Banyak dari musisi-musisi ini berhenti bermain musik dan mencari mata pencaharian lain. Beberapa klub musik bahkan terpaksa tutup atau pindah ke pinggiran Hongdae untuk menghindari gentrifikasi masal dan harga sewa yang meroket tinggi.

Angin segar musik independen muncul kembali ke permukaan pada kisaran 2006–2008. Grup musik seperti Broccoli, You Too?, Kiha & Faces, dan Galaxy Express memulai debutnya dengan cukup sukses. Selain persepsi publik yang semakin membaik, banyak pengakuan pula datang dari kalangan kritikus. Meskipun pada pertengahan 2000-an K-pop masih menjadi arus utama nasional dan tengah menjadi pusat perhatian global, dunia musik independen di Korea secara bertahap mulai mendapatkan kembali panggungnya dan memperluas pengaruhnya. Pada pertengahan hingga akhir 2000-an saja, ada sekitar 300 judul rekaman independen rilis ke pasar pada setiap tahunnya.

Broccoli, You Too? — A Universal Song

Debut album studio penuh Broccoli, You Too?, 앵콜요청금지 yang dirilis pada 2007 membantu mereka mendapatkan popularitas arus utama. Kiha & The Faces dengan debut single-nya, “Cheap Coffee” berhasil menyabet penghargaan sebagai Song of the Year di Korean Music Awards 2009 dan menjelma menjadi salah satu grup musik populer di Korea saat itu. Begitu pula dengan Galaxy Express dengan album penuh pertama mereka, Noise On Fire yang memenangkan Album Rock Terbaik di Korean Music Awards pada tahun yang sama.

Arus Perkembangan Musik Independen Korea dalam Satu Dekade Terakhir

Bersamaan dengan fenomena Hallyu yang semakin meluas, musik independen Korea turut mendapatkan tempatnya di kancah internasional. Dimulai dengan gebrakan kolaborasi antara DFSB Kollective dengan Korea Creative Content Agency (KOCCA) yang menyelenggarakan sebuah tur konser tahunan di Amerika Serikat (SXSW) dengan tajuk Seoulsonic pada 2011. Tur ini berupaya untuk memperkenalkan musik independen Korea lebih luas lagi. Vidulgi OoyoO, Idiotape, dan Galaxy Express adalah perwakilan grup musik yang berangkat menuju SXSW 2011. Di tahun-tahun berikutnya, grup musik independen Korea terus menghiasi pagelaran SXSW.

Hyukoh — Gang Gang Schiele

Coachella yang merupakan salah satu festival musik dan seni besar lain juga turut menghadirkan Hyukoh dan Jambinai. Jika ditarik kembali ke belakang, Hyukoh merupakan grup musik yang berangkat dari kancah musik underground Hongdae pada 2014. Di sisi lain, pada tahun yang sama saat Hyukoh baru terbentuk, Jambinai berpartisipasi dalam festival musik SXSW bersama 3rd Line Butterfly dan menjadi grup musik Korea pertama yang tampil di festival Glastonbury bersama Sultan Of The Disco dan Gonne Choi.

Selanjutnya, salah satu hal penting lain yang membantu musisi-musisi dari arus independen adalah keterlibatan mereka di dalam soundtrack serial (OST) drama Korea. Sebut saja 10cm dalam serial Crash Landing on You (2019), Standing Egg dalam Weightlifting Fairy Kim Bok-joo (2016), atau Jannabi dan The Black Skirts dalam serial Romance is Bonus Book (2019).

10CM — But It’s Destiny (Crash Landing on You OST)

Dari segi genre, perkembangan musik independen Korea saat ini juga lebih variatif — mulai dari hip-hop, R&B, math rock, dream pop, post-rock, hingga shoegaze. Hal ini kontras jika dibandingkan dengan saat gelombang pertama mulai merebak yang didominasi oleh punk rock. Cotoba, salah satu grup musik beraliran math rock merilis EP pertama mereka Form Of Tongue pada 2019. EP tersebut dinominasikan untuk beberapa penghargaan termasuk Korean Music Award. Dipengaruhi oleh asal kota mereka di kota Busan yang berada di tepi pantai, Say Sue Me membawa nuansa surf rock dalam lagu-lagu mereka. Kehadiran Say Sue Me dari kota Busan juga menjadi sebuah angin segar dalam kancah musik independen Korea yang kebanyakan terkonsentrasi di kota Seoul.

Kancah musik Independen Korea telah mengalami perubahan yang sangat signifikan, khususnya dalam satu dekade terakhir. Beberapa dari mereka bahkan berhasil secara konstan melakukan ekspansi ke luar negara hingga melakukan tur. Beberapa grup musik yang telah cukup lama berada di kancah permusikan independen Korea seperti Crying Nut, No Brain, Jaurim juga masih tetap aktif dan bertahan hingga sekarang.

Say Sue Me — Old Town

Dengan segala hambatan yang ada, para musisi independen Korea tetap menemukan cara untuk terus membangun karier mereka. Banyak label rekaman independen juga menjadi sukses secara komersial. Beberapa tempat untuk pertunjukkan musik juga dibangun di sekitaran daerah Hongdae dan Seoul. Berbagai festival musik terus bermunculan dengan line-up berisikan grup musik yang berangkat dari kancah musik independen. Namun, tentu semua hal ini juga didukung dengan akar kualitas musik dari banyak musisi independen yang terus konsisten prima.

Dalam bayang-bayang dominasi K-pop yang menjalar ke seluruh pelosok dunia saat ini, musisi-musisi dari kancah independen turut bermunculan menciptakan ekosistem musik Korea menjadi lebih variatif. Dari sejak awal perkembangannya pada 1900-an, musisi-musisi yang datang dari perkancahan musik independen menawarkan semacam oasis dengan menunjukkan bahwa industri musik Korea bukan hanya tentang K-pop. Kita bisa dengan mudah menemukan rilisan-rilisan musik shoegaze atau post-rock di perkancahan musik independen Korea dibandingkan dengan mencarinya di musik arus utama.

--

--

RTC UI FM
RTC UI FM

Written by RTC UI FM

The Best Student Radio In Town! Universitas Indonesia’s one and only radio, now bringing you opinion pieces. For further enquiry, contact rtcuifm@gmail.com

No responses yet