Perempuan dalam Industri K-Pop: Mereka yang Harus Sempurna di Tengah Resistansi Feminis

RTC UI FM
6 min readMar 20, 2022

Written By – Rafi Syabi Aferza — Music Director

Pernahkah terpikir olehmu, misalnya, bagaimana rasanya menjalani kehidupan sebagai idol Korea Selatan—dan menjadi perempuan sekaligus? K-Pop, dalam lima tahun terakhir saja, rasanya berkembang dengan begitu cepat, berpindah-pindah menarik penggemar dari satu tempat ke tempat yang lain. K-Pop bukan lagi sekadar genre yang menjadi pilihan ketika kita sedang menghabiskan waktu-waktu santai dan berselancar ria di platform musik. K-Pop saat ini telah menjadi sebuah fenomena yang meledak-ledak, riuh dan melibatkan banyak hal—mulai dari fandom, dan kultur ini-itu lainnya. Ia menjadi bagian yang tak lagi bisa dipisahkan dari identitas Korea Selatan sekarang, membantu melesatkan perekonomian negara dan meletakkan industri hiburan Korea di arena pertempuran global. Sejalan dengan tumbuhnya industri K-Pop yang semakin ekspansif, tentunya sejalan pula dengan semakin banyaknya mata yang melirik dengan sigap, siap sedia untuk menangkap setiap kejadian: menyoroti bagaimana idola mereka menampilkan performa dan personanya saban waktu.

Sudah baguskah performanya hari ini? Andaikata kamera-kamera itu dimatikan, masihkan dia jadi seseorang yang baik? Cantikkah badannya, wajahnya, sifatnya? Omong-kosong jika semua pertanyaan semacam itu lebih sering dilontarkan kepada idola laki-laki. Toh, andaikata ada kasus yang melibatkan idola laki-laki sekalipun, hal seperti itu akan dengan segera disudahi dan dibela ribuan orang: penggemar akan ramai- ramai memberesi yang demikian itu dalam sekejap sebelum luput dari pandangan mata. Sebaliknya, idola perempuan, melahap kalimat-kalimat pertanyaan seperti itu tempo hari meski bibir mereka mengatup dan menampilkan senyum manis. Jika ia berbuat salah, bahkan sekali saja, akan menjadi kasus yang tak berkesudahan dan terus diperbincangkan. Narasi dilepas-liarkan di media, dan semuanya itu berakhir menjadi ujaran kebencian yang diteriakkan dengan lantang. Lantas, jika begini, di manakah ruang untuk para perempuan sehingga mereka dapat bebas dan merdeka, turun dari panggung dengan bahagia tanpa harus mendengarkan ujaran-ujaran akan hal yang sebetulnya tak perlu dipersoalkan?

Melihat Antifeminisme Korea Selatan

Budaya Patriarki di Korea Selatan masih berjalan dengan begitu pekat. Ia seolah tercampur sempurna dengan udara yang dihirup saban pagi. Bahkan, gerakan-gerakan antifeminis terus digencarkan dengan lantang, dan belum seorangpun punya kekuatan yang cukup untuk menggagalkan hal itu sekali saja. Persoalan patriakri dan feminisme seperti ini memang sebetulnya muncul dengan begitu rumit dan kompleks, karena melibatkan aspek historis yang perlu dilihat secara retrospektif hingga aspek sosial-kultural lainnya. Feminisme di Korea Selatan banyak dianggap sebagai upaya yang kebablasan, tak tepat secara sosial serta moral, dan tak punya urgensi untuk dilakukan. Perempuan dipandang tak punya alasan yang cukup kuat untuk memperjuangkan dirinya sendiri, sebab laki-laki justru dianggap dibebankan hal yang lebih berat seperti mengikuti wajib militer dan semacamnya.

Perihal gender, alih-alih menjadi medium keterbukaan di sana, malah dijadikan ajang untuk saling beradu nasib. Bukankah pria lebih banyak bebannya? Adakah seorang perempuan saja yang mesti ikut wajib militer? Bagi mereka-mereka ini, persoalan feminis tak lain adalah bentuk tuntutan yang tak tahu diri. Padahal, pada realitanya ada banyak sekali wujud patriarki dan diskriminasi gender terhadap perempuan yang terus dilanggengkan, dan banyak pula yang berbuntut tak mujur—seperti berurusan dengan perceraian, kekerasan, dan semacamnya. Dalam perkantoran saja, misalnya, hak-hak perempuan seperti saat di mana mereka harus melahirkan, acap kali dipersoalkan sedemikian rupa seperti sebuah parasit yang merusak ekosistem kerja secara utuh. Contoh seperti itu, hanya satu dari sekian banyak bentuk di mana hak-hak perempuan ditanggalkan, namun tetap dijalankan ramai-ramai.

Dalam kehidupan idola K-Pop, ada beberapa kasus yang merefleksikan bagaimana resistansi feminisme di Korea Selatan masih terus tumbuh dan menjamur. Joy dan Irene Red Velvet, contohnya, menjadi sasaran empuk laki-laki di sana hanya karena keduanya memakai baju dan membaca buku tentang feminisme. Hal itu dipandang sebagai sebuah ‘kontroversi’ besar, dan tak luput dari perhatian media selama berhari-hari. Sederhananya, hal ini menunjukkan betapa sulitnya seorang perempuan, terutama publik figur, bisa dengan bebas menampilkan bahasa feminis mereka masing-masing tanpa perlu direcoki.

Bias Patriarkal, Kapan Ingin Berhenti?

Industri K-Pop, bahkan dengan mata tertutup, bisa kita mafhumi sebagai sebuah industri yang amat keras. Tidak banyak yang punya kesempatan, tidak banyak yang bisa bertahan, tidak banyak yang bisa berhasil. Setiap idola K-Pop punya beban yang besar, mulai dari proses trainee yang berlangsung selama bertahun-tahun, proses latihan yang keras, dan belum lagi kehidupan saat sudah menjadi idola yang perlu mereka jalankan secara sempurna. Semuanya perlu dilakukan sebagai bentuk kepatuhan terhadap agensi yang mengurus mereka, dan juga terhadap para penggemar di luar sana yang harus dipuaskan dan dibahagiakan. Jika mengatakan hanya idola perempuan saja yang punya beban, rasanya itu adalah sebuah pernyataan keliru. Tapi, jika mengatakan bahwa apa-apa yang dibebankan kepada idola perempuan lebih besar dan banyak, seperti sebuah gunung yang ditimpakan ke punggung dan harus dibawa ke sana-sini, kiranya memang begitulah benar adanya.

Dalam kultur sebuah fandom saja, ada napas patriarkal yang tak kunjung dihilangkan. Ketika ada suatu kejadian yang sama-sama melibatkan baik idola laki-laki maupun perempuan—bahkan hal remeh seperti hubungan asmara sekalipun—selalu saja bermuara dengan menitikberatkan kesalahan semata-mata hanya kepada idola perempuan. Urusan lain, contoh saja, ketika berhubungan dengan performa idola di atas panggung, idola perempuan lebih banyak dikritisi dari segala penjuru arah. Beberapa kritisi memanglah disampaikan dengan valid, namun tak menghapus jejak bahwa penilaian terhadap idola perempuan selalu berlangsung lebih frontal dan ganas. Di sisi lain, idola laki-laki tak sesering itu mendapatkan kritisi atas performanya, dengan berbagai dalih serta alasan. Entah bias apa yang sesungguhnya terjadi dan berbuah menjadi kultur, namun problem utamanya adalah hal-hal seperti demikian tak berlangsung sekali. Bias dengan napas patriarkal yang lebih ‘mengampuni’ laki-laki dalam setiap kesempatan telah menjadi hal struktural yang barangkali sulit untuk dilenyapkan, dan bisa kita lihat terus berlangsung hingga sekarang.

Belum lagi jika berbicara tentang standar kecantikan. Industri K-Pop seolah-olah menciptakan dunia ilusi di mana seluruh idola mereka perlu tampil paripurna dari atas kepala hingga kaki, dari waktu subuh sampai malam hari. Ini menjadi jebakan yang lebih keji lagi bagi para idola perempuan. Standar kecantikan melambung amat tinggi. Alhasil, tak ada akibat lain yang ditimbulkan selain jeratan seksisme. Tubuh dan wajah menjadi satu-satunya hal yang dianggap punya nilai, sementara prestasi dan bakat mereka terus dilunturkan. Sialnya lagi, banyak kasus di mana tubuh idola perempuan tanpa disadari mengalami eksploitasi seksual. Mereka dijadikan bahan ‘jualan’ yang dianggap mampu menarik perhatian banyak orang, merayakan male gaze di mana laki-laki jadi konsumen utama.

Bahkan, ada banyak contoh di mana unsur seksisme atau misogini juga diwujudkan melalui musik yang mereka bawakan. Jika Anda lebih peka dan teliti, bacalah penggalan lirik dari lagu-lagu milik grup idola perempuan. Tidak jarang, di dalamnya tak menceritakan apa-apa selain merepresi perempuan semata sebagai objek pasif yang hidup di dalam dunia milik laki-laki. Terdengar menakutkan? Namun begitulah kenyataannya. Yang jelas, objektifikasi perempuan tak cuma dilakukan sesekali, melainkan hampir—atau bahkan setiap—mereka tampil di atas panggung, di layar televisi, atau sekadar sedang berjalan-jalan dan tertangkap jepretan kamera. Kok lebih kurus, ya? Kenapa kulitnya tidak putih seperti member lain? Perkataan-perkataan seperti ini, tidak keluar dari mulut seorang saja, tidak juga diucapkan dalam satu waktu dan hilang setelahnya. Setiap idola perempuan dipaksa untuk tunduk pada standar kecantikan yang telah ada. Mereka menjadi sebuah objek pasif yang dihitung nilainya secara kecantikan maupun ketubuhan, dibandingkan mengagumi semua prestasi yang telah mereka cetak, atau paling tidak mengapresiasi baik usaha ataupun tetesan peluh yang mereka keluarkan ketika berlatih.

Ilusi kesempurnaan dalam kultur K-Pop jelas cacat dan mestinya disudahi. Ada banyak contoh lain di mana muncul stereotifikasi perempuan yang juga membungkam ekspresi diri seorang perempuan sebagai manusia merdeka. Beberapa idola K-Pop sebut saja HyunA, Jessi, ataupun Amber Liu menjadi contoh bagaimana mereka adalah perempuan-perempuan yang berani menghantam standar kecantikan maupun stereotip akan bagaimana-seharusnya perempuan berperilaku—bahwa bentuk feminin, tidaklah dibungkus secara rigid dan perlu dipatuhi tiap-tiap perempuan. Anggapan bahwa setiap idola perempuan harus seputih susu dengan tubuh ramping seperti boneka, jelas merupakan standar ideal yang menjengahkan, bentuk kecantikan normatif yang sebetulnya tidak masuk di akal. Setiap idola perempuan seharusnya bebas menentukan dan mengekspresikan diri mereka, memakai bahasa feminis mereka masing-masing, tanpa perlu ada distorsi dari orang-orang di luar.

Sesungguhnyalah, K-Pop menjadi cermin yang bisa kita amati dengan cermat, mencerminkan bagaimana napas patriarkal sebenarnya memperlakukan para perempuan. K-Pop yang terus-menerus meroket, ibarat menumpahkan hal-hal tentang perempuan yang mestinya tak boleh dilakukan. Ketika isu seperti menjadi perhatian banyak, tentulah kita, gender apapun itu, secara kolektif memperjuangkan hak-hak yang sudah pasti dimiliki oleh setiap perempuan, dan dengan solid meruntuhkan bentuk-bentuk patriarki, seksis, ataupun misoginis yang tak menguntungkan siapa-siapa melainkan mencekik perempuan dengan kencang. Semoga, dengan segera, hal-hal seperti itu tak lagi dilanggengkan. Semoga setiap perempuan bisa bebas dan merdeka untuk menjalani hidup yang dimilikinya, tanpa harus memikirkan ini-itu, tanpa harus menangis dalam diam atas beban-beban yang berjatuhan dan memenjarakan mereka. •

--

--

RTC UI FM

The Best Student Radio In Town! Universitas Indonesia’s one and only radio, now bringing you opinion pieces. For further enquiry, contact rtcuifm@gmail.com