Rilisan Fisik Tidak Akan Pernah Mati

RTC UI FM
4 min readJul 8, 2021

--

Written by: Khansa Amila — Music Director

Eh.. masih dengerin musik pake kaset?” ucap salah seorang teman ketika gue sedang bercerita tentang kegemaran gue dalam mengoleksi kaset pita. Sekarang ini, hal-hal yang sifatnya fisik ataupun analog dibilang sudah ketinggalan zaman dan mulai ditinggalkan. Tidak heran apabila generasi sekarang tidak mengetahui dan jarang mendengarkan suatu karya musik melalui format rilisan fisik. Mulai dari film, fotografi, hingga musik, formatnya mulai berubah. Dunia bergerak maju, benda-benda analog pun tergantikan dengan benda-benda yang lebih digital dan mudah untuk digunakan. Sekarang, apabila ingin menonton film kita tidak perlu repot-repot untuk pergi ke bioskop, hanya dengan duduk manis di kamar pun kita sudah dapat menonton film favorit. Seperti halnya film, kita juga dapat dengan mudah mengakses dan mendengarkan musik dimana saja tanpa harus menikmatinya melalui format fisik maupun radio. Akan tetapi, untuk beberapa orang, mendengarkan musik melalui format fisik memiliki sensasi yang berbeda dan tidak sedikit di antara mereka masih gemar untuk menyimpan sekotak kaset, CD, maupun piringan hitam di pojok ruangan mereka.

Rilisan fisik pertama kali masuk ke Indonesia dibawa oleh saudagar Tionghoa, Tio Tek Hong, yang selanjutnya mendirikan label rekaman pertama di Indonesia Tio Tek Hong Record. Kemudian, ia mengeluarkan piringan hitam yang memiliki ciri khas lantunan “Terbikin oleh Tio Tek Hong, Batavia” pada setiap track pertama ketika diputar. Setelah Tio Tek Hong Record, label rekaman lain mulai muncul yang memiliki fokus pada lagu-lagu hiburan di Indonesia seperti Irama Record, Remaco, Lokananta. Pada awalnya, setiap perusahaan hanya memproduksi piringan hitam, dan seiring waktu berjalan hadir format baru yaitu kaset pita dengan bentuk yang lebih praktis juga harga yang lebih terjangkau. Pada saat dimana kaset pita hadir di Indonesia, musik di Indonesia juga mengalami masa kejayaan di mana produksi musik meningkat, distribusi juga menjadi lebih luas dan merata, studio-studio rekaman pun mulai banyak berdiri bersamaan dengan genre-genre musik baru yang bermunculan. Tidak berhenti pada kaset pita, format terbaru hadir dengan bentuk compact disc yang pada masanya membuat penjualan kaset pita menurun. Compact disc atau CD merupakan teknologi terakhir dari bentuk musik fisik yang pernah dikonsumsi oleh para penikmat musik, bentuk fisik tersebut yang menjembatani era analog dengan era digital.

Di era digital sekarang ini, akses untuk mendengarkan musik sudah menjadi lebih mudah yang mengakibatkan penjualan rilisan fisik menurun drastis apabila dibandingkan dengan kenaikan konsumsi musik pada platform digital. Digitalisasi, dalam dunia musik khususnya, memudahkan siapapun untuk menciptakan karyanya serta dalam hal mempromosikan hasil karyanya pun terbilang mudah. Platform-platform digital seperti Spotify, Joox, Apple Music, Bandcamp dan lainnya mendominasi platform musik sekarang ini dan menggeser format-format fisik dan radio dalam memutarkan musik. Melalui platform musik digital, para musisi juga menjadi lebih mudah dalam menjual karya musiknya karena jangkauan yang cukup luas. Dianggap mudah dan tidak ribet, platform musik tersebut sangat digemari oleh anak muda masa kini, di mana penggunanya selalu bertambah setiap tahunnya.

Akan tetapi, di samping semua proses digitalisasi yang ada dan semakin mudahnya akses untuk mendengarkan musik, tidak menyurutkan para penikmat musik yang mengonsumsi musik melalui media non-aplikasi atau yang kita kenal dengan rilisan fisik. Tidak jarang diantaranya yang masih memburu tape untuk memutar kaset yang mereka miliki, bahkan piringan hitam atau vinyl masih banyak yang mengincar, karena bentuknya yang klasik membuat benda tersebut memiliki nilai tersendiri untuk beberapa orang. Tidak sedikit pula di antara mereka masih gemar untuk mendengarkan dan mengoleksi rilisan fisik, tentu dengan alasan yang berbeda — beda dari tiap individunya; beberapa memang berdasarkan kegemarannya atau ada juga yang suda mengoleksi rilisan fisik sedari dulu karena nilai sejarahnya, dan sebagainya. Walaupun barang-barang analog dikatakan sudah ketinggalan zaman, sekarang rasa-rasanya semua seperti kembali kepada tahun 80-an dan 90-an. Semua yang analog mulai ramai lagi, kamera film kembali digandrungi oleh anak-anak muda, dan akhir-akhir ini banyak orang yang senang untuk kembali mengoleksi rilisan fisik musik. Selain untuk dikoleksi dan dingear, rilisan fisik juga dirayakan setiap tahunnya melalui Record Store Day (RSD) dan Cassette Store Day (CSD). Pada hari-hari peringatan tersebut para penggemar, seniman, dan ribuan toko musik independen dipertemukan. Untuk mengimbangi perkembangan teknologi digital yang semakin masuk, toko-toko rilisan fisik juga mulai berjualan secara daring melalui situ website mereka maupun media sosial masing-masing toko.

Meskipun peminat rilisan fisik terbilang mulai menurun, rilisan fisik masih dianggap elemen penting dalam berkarya oleh para musisi independen di Indonesia. Mereka menganggap hal tersebut tidak mengurangi nilai dari suatu rilisan fisik, karena rilisan fisik mereka anggap sebagai bentuk utuh dan nyata dari karya-karya yang mereka buat. Sehingga, banyak band-band indie di Indonesia yang masih tetap rajin untuk merilis karyanya dalam format fisik. Berbagai terobosan dilakukan untuk menjaga rilisan fisik tetap diminati, di antaranya dengan memproduksi rilisan fisik dengan kemasan-kemasan unik yang biasanya menggambarkan warna dan persona si pembuat musik. Beriringan dengan keadaan saat ini di mana penjualan rilisan fisik tidak setinggi dulu, format rilisan fisik biasa dibuat limited dan eksklusif. Hal ini tentunya semakin meningkatkan value dari rilisan tersebut, sehingga para penggemar dari band-band itu akan lebih mendapatkan “nilai” yang lebih saat memiliki bentuk karya fisiknya.

Dengan percaya diri gue bisa bilang bahwa budaya mengkonsumsi rilisan musik tidak akan pernah hilang walau platform musik digital sekarang ini semakin banyak. Memang terbukti bahwa musik yang dibungkus dalam rilisan fisik masih mendapatkan tempat bagi para penikmat musik Indonesia maupun dunia, terlebih bagi mereka yang memang gemar mengoleksi rilisan musik fisik klasik, mereka akan tetap mencari album-album fisik dalam bentuk kaset atau piringan hitam untuk mereka simpan karena memiliki nilai historis tersendiri. Gue pernah berpikir jikalau rilisan fisik akan habis dimakan waktu dan tidak ditengok lagi, tetapi nyatanya akan selalu ada generasi-generasi yang melanjutkan dan mewariskan bentuk-bentuk fisik dari karya musik. Walaupun dunia terus bergerak maju dan teknologi semakin canggih, rilisan fisik akan tetap ada dan akan terus memiliki nilai-nilai tersendiri bagi beberapa orang.

--

--

RTC UI FM
RTC UI FM

Written by RTC UI FM

The Best Student Radio In Town! Universitas Indonesia’s one and only radio, now bringing you opinion pieces. For further enquiry, contact rtcuifm@gmail.com

No responses yet