WOW! Bisa Nabung 330 Juta?! Apakah Cerita Kaluna Benar-Benar Bisa Menginspirasi Gen Muda?
Ditulis oleh: Kaka Effelyn M. S. — News Director
Gen Muda, kalian pasti pernah mendengar kisah Kaluna dari film Home Sweet Loan, kan? Iya, perempuan tangguh yang bisa menabung sampai Rp330 juta dari gajinya yang Rp6 juta per bulan itu. Wow banget, bukan? Nah, cerita Kaluna ini menginspirasi banget, ya, Gen Muda. Tapi, bener, gak, sih kalau cerita Kaluna ini memang memberikan inspirasi yang sehat untuk Gen Muda seperti kita, atau justru bisa jadi beban mental bagi mereka yang punya realitas keuangan berbeda?
Nah, daripada bingung, yuk kita bahas dari sisi psikologis dan sosiologis cerita Kaluna ini!
Cerita Kaluna Dari Sudut Pandang Psikologis: Inspirasi atau Tekanan yang Tidak Realistis, ya?
Gen Muda, cerita Kaluna yang super keren ini awalnya terasa sangat memotivasi kita, ya.
Bayangkan nih, di tengah kehidupan yang sangat berat sebagai generasi sandwich, Kaluna tetap bisa mengumpulkan uang untuk rumah impiannya. Cerita Kaluna ini seperti fase di tengah gurun alias memberikan harapan bahwa dengan kerja keras dan pengorbanan, semua orang bisa mencapai impian mereka, tak peduli seberapa besar tantangannya. Eits, tapi, apa benar, ya, kalau cerita Kaluna ini bisa menginspirasi banyak orang?
Kalau menurut Mimin, sih, gak semua orang akan menganggap cerita ini bisa menginspirasi, ya. Kenapa gitu, Min? Karena tidak semua orang punya akses dan peluang yang sama seperti Kaluna, nih, Gen Muda. Jika Kaluna dengan gajinya Rp6 juta bisa menabung sampai Rp330 juta, bagaimana dengan mereka yang gajinya bahkan di bawah Upah Minimum Regional (UMR)? Apakah itu artinya mereka kurang bekerja keras? Ini lah yang disebut dalam psikologi sebagai toxic positivity, Gen Muda. Toxic positivity itu adalah sebuah konsep ketika kita terlalu banyak mengafirmasi diri dengan hal-hal positif agar dapat menghilangkan perasaan negatif, tetapi hal itu justru membuat kita tidak realistis. Alih-alih memberikan motivasi, cerita Kaluna ini justru bisa membuat sebagian orang merasa gagal kalau mereka tidak bisa mencapai hal yang sama, nih, Gen Muda!
Bagi sebagian orang, terutama mereka yang berasal dari keluarga dengan ekonomi terbatas, melihat cerita Kaluna atau melihat orang sukses seperti Kaluna bisa menciptakan perasaan insecure atau bahkan depresi. Dalam situasi seperti ini, bukan lagi inspirasi yang didapat, melainkan rasa frustasi. Ini disebabkan oleh comparison trap, ketika kita cenderung membandingkan diri kita dengan orang lain yang kelihatannya “lebih berhasil”, Gen Muda. Dan dalam dunia yang semakin terhubung
melalui media sosial, membandingkan diri dengan orang lain seperti Kaluna bisa membuat kita merasa tidak pernah cukup, meskipun kita sudah berusaha sekeras mungkin.
Memandang Cerita Kaluna Dari Kacamata Sosiologis: Apakah Semua Orang Memiliki Akses dan Peluang yang Sama?
Sekarang, yuk, kita lihat dari perspektif sosiologis, Gen Muda! Jika melihat kondisi masyarakat saat ini, tentu masyarakat kita sangat beragam, ya. Tidak semua orang memiliki akses yang sama ke pendidikan, pekerjaan, atau bahkan kesempatan untuk menabung seperti Kaluna. Realitasnya, masih banyak orang yang berada di dalam lingkaran kemiskinan struktural, ketika peluang untuk menaiki tangga sosial masih
sangat terbatas. Banyak orang yang masih pontang-panting mencari uang untuk sekadar makan. Sementara Kaluna, ia bisa menabung karena gajinya cukup stabil, yaitu di atas rata-rata UMR.
Dalam dunia sosiologi, ini disebut sebagai ketidaksetaraan struktural, Gen Muda. Ketidaksetaraan struktural adalah kondisi ketika beberapa orang bisa mengakses penghidupan yang layak sementara yang lainnya tidak bisa. Ketidaksetaraan ini bisa terjadi ketika akses terhadap sumber daya seperti pendidikan, pekerjaan, dan kesempatan ekonomi dipengaruhi oleh faktor-faktor struktural, seperti kelas sosial, latar belakang keluarga, jenis kelamin, ras, atau lokasi geografis.
Nah, Gen Muda, tidak semua orang bisa “berhasil” dengan usaha pribadi semata karena ada faktor-faktor eksternal yang tidak bisa mereka kendalikan, seperti ketidakstabilan ekonomi, minimnya akses terhadap pekerjaan layak, atau bahkan biaya hidup yang terus naik. Dalam situasi seperti ini, cerita Kaluna tampak jauh dari realitas yang dialami oleh banyak mahasiswa atau generasi muda dari keluarga dengan pendapatan minim.
Tantangan Generasi Sandwich Dalam Cerita Kaluna: Jadi, “Hikmah” Apa yang Bisa Gen Muda Dapatkan?
Gen Muda udah gak asing lagi, dong, sama term generasi sandwich. Generasi sandwich, seperti yang digambarkan dalam cerita Kaluna, yaitu mereka yang harus menanggung beban finansial diri sendiri, sekaligus mendukung keluarga, seperti orang tua ataupun adik. Sederhananya, generasi sandwich itu kayak kepala keluarga gitu, Gen Muda.
Untuk Gen Muda yang mungkin mengalami situasi serupa, kisah Kaluna bisa terasa sangat relatable, terutama dari sisi tanggung jawab keluarga. Namun, tidak semua generasi sandwich memiliki fleksibilitas keuangan yang sama seperti Kaluna, nih. Bagi mereka yang berasal dari keluarga marginal, penghasilan yang sangat terbatas bahkan mungkin tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, apalagi menabung untuk membeli rumah, tentu akan menjadi beban hidup yang sangat berat.
Jadi, apa yang bisa kita dipelajari, ya, Gen Muda dari cerita ini? Nah, penting untuk selalu contextualize setiap cerita “mulus” yang kita lihat, termasuk cerita Kaluna. Bukan berarti kita tidak bisa terinspirasi, tetapi kita harus menyadari bahwa kondisi kita mungkin berbeda dengan sebagian orang terutama orang-orang seperti Kaluna. Dalam dunia
yang penuh ketidaksetaraan ini, tidak semua titik start masing-masing orang sama. Bisa saja, ada beberapa orang yang titik startnya jauh lebih dulu daripada orang-orang lainnya.
Selanjutnya, kita harus mulai menyeimbangkan antara ambisi pribadi dengan pemahaman sosial, nih, Gen Muda. Tidak semua orang memiliki peluang yang sama dan hal itu bukanlah kesalahan pribadi. Justru, kita perlu lebih mendukung kebijakan-kebijakan yang mendorong kesetaraan akses, entah itu dalam pendidikan, pekerjaan, atau program-program bantuan ekonomi bagi kelompok marginal.
Terakhir, penting bagi Gen Muda untuk menghindari jebakan toxic positivity, nih! Tidak apa-apa merasa kesulitan, tidak apa-apa jika kita belum bisa mencapai apa yang dicapai oleh orang lain seperti Kaluna. Setiap orang memiliki perjalanan hidupnya sendiri, dengan tantangan yang berbeda-beda tentunya. Daripada terlalu fokus pada hasil akhir, kita harus menghargai setiap proses yang kita jalani setiap hari.
Nah, jadi intinya, cerita Kaluna ini memang bisa menginspirasi, tapi kita harus melihatnya dengan kacamata yang realistis, ya, Gen Muda! Dari sisi psikologis, cerita ini bisa memberikan dorongan motivasi bagi sebagian orang, tapi juga bisa menciptakan tekanan dan kecemasan bagi mereka yang berada dalam kondisi finansial yang berbeda. Dari sisi sosiologis, penting untuk menyadari bahwa tidak semua orang memiliki akses
dan peluang yang sama terhadap kesempatan finansial, sehingga cerita ini mungkin tidak mencerminkan kenyataan bagi banyak kelompok marginal.
Sebagai Gen Muda, kita perlu belajar dari kisah ini dengan bijak, sambil tetap mengingat bahwa perjalanan hidup setiap orang berbeda-beda. Yang penting, kita tetap terus berusaha, tetapi juga sambil merawat kesehatan mental kita dan tetap peka terhadap kondisi sosial di sekitar kita.